INDONESIA |
Mengapa begitu?Indonesia didakwa "tidak"menunjukkan keinginan untuk menguasai kedua pulau itu karena hukum nasional (UU Prp Nomor 4 Tahun 1960) tidak pernah memasukkan pulau itu ke wilayah kita karena tidak pernah ada "penguasaan secara efektif (effectivites/effective occupation)",baik oleh Belanda maupun Indonesia, sementara Inggris dan Malaysia melakukannya.
Padahal, jarak kedua pulau itu lebih dekat ke kepulauan Indonesia dibandingkan dengan Malaysia.NEGARA Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah lama diperjuangkan di forum internasional. Diawali dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960 tentang Perairan Indonesia; Prof Mochtar Kusumaatmadja dengan tim negosiasi Indonesia lainnya menawarkan konsep "Negara Kepulauan" untuk dapat diterima di Konferensi Hukum Laut Perseriktan Bangsa-Bangsa (PBB)III,sehingga dalam "The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982" dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan.
MALAYSIA |
Namun, dalam UU No 6/1996 itu tidak ada peta garis batas Indonesia,yang ada hanya peta ilustratif. Padahal, menurut UNCLOS 1982,Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat koordinat garis dasar sebagai titik,ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia.
PETA BATAS/LOKASI |
Maka, tindakan Malaysia mengirim kapal perang atau pesawat tempur ke Indonesia, apalagi dengan bonus "menyiksa warga kita yang sedang membangun suar di Karang Unarang" tidak dapat dibenarkan. Karang Unarang adalah suatu low tide elevation (elevasi pasang surut), yang dapat dijadikan titik garis pangkal satu negara. Sebagai negara kepulauan Indonesia berhak mencari titik-titik terluar dari pulau atau karang terluar untuk dipakai sebagai garis pangkal. Itu berarti Karang Unarang yang letaknya di tenggara Pulau Sebatik (bagian Indonesia) berhak dijadikan baselines baru Indonesia, sebagai pengganti garis pangkal di pulau Sipadan dan Ligitan.
SITUASI MEMANAS |
Jika Malaysia berargumentasi, "tiap pulau berhak mempunyai laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinennya sendiri", maka Pasal 121 UNCLOS 1982 dapat membenarkannya. Namun, rezim penetapan batas landas kontinen mempunyai specific rule yang membuktikan keberadaan pulau-pulau yang relatively small, socially and economically insignificant tidak akan dianggap sebagai special circumstances dalam penentuan garis batas landas kontinen. Beberapa yurisprudensi hukum internasional telah membuktikan dipakainya doktrin itu.Dengan demikian, yang perlu ditentukan kini adalah garis pangkal masing-masing negara.
Jika situasi di Ambalat memanas dengan telah berhadap-hadapannya kapal perang dan pesawat tempur kedua negara,Malaysia mengatakan semua bisa dirundingkan, maka itu hanya akan mencapai deadlock jika Malaysia bersikukuh untuk dipakainya peta wilayahnya tahun 1979. Peta itu hanya tindakan unilateral yang tidak mengikat Indonesia.Indonesia telah menolak langsung peta itu sejak diterbitkan, karena penarikan baselines yang tidak jelas landasan hukumnya.
Ambalat jelas di bagian selatan Laut Sulawesi dan masuk wilayah Indonesia. Jika kedua negara tetap dalam posisi berlawanan, maka untuk mencegah konflik bersenjata, jalan keluar yang harus ditempuh
adalah duduk dalam perundingan garis batas landas kontinen kedua negara, yang sekaligus berarti menyelesaikan kasus Ambalat dengan menerapkan prinsip equitable solution, seperti digariskan UNCLOS 1982.
SIAP PERANG |
tenaga kerja Indonesia (TKI), kasus illegal logging, dan konflik Ambalat membawa pandangan negatif tentang Malaysia. Keberadaan TNI Angkatan Laut dapat dibenarkan karena tiap negara harus menjaga kedaulatan negaranya di daerah yang diyakini sebagai wilayahnya. Jika tidak bisa bertindak in good faith, sebagaimana dilakukan negara-negara beradab, maka Malaysia menyisakan ruang bagi Indonesia agar mempertahankan prinsip "bertetangga baik" seperti selama ini dianut Indonesia secara "berlebihan".
Sumber: Kamil Ariadno Pengajar Hukum Laut Fakultas Hukum UI; Ketua Lembaga Pengkajian Hukum Internasional (LPHI) FHUI