12 Desember 2012

AMBALAT MILIK SIAPA

BENDERA INDONESIA
INDONESIA
Kita tercengang saat 16 dari 17 hakim Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang memeriksa perkara Pulau Sipadan-Ligitan pada 17 Desember 2002 menyerahkannya kepada Malaysia.
Mengapa begitu?Indonesia didakwa "tidak"menunjukkan keinginan untuk menguasai kedua pulau itu karena hukum nasional (UU Prp Nomor 4 Tahun 1960) tidak pernah memasukkan pulau itu ke wilayah kita karena tidak pernah ada "penguasaan secara efektif (effectivites/effective occupation)",baik oleh Belanda maupun Indonesia, sementara Inggris dan Malaysia melakukannya.
Padahal, jarak kedua pulau itu lebih dekat ke kepulauan Indonesia dibandingkan dengan Malaysia.NEGARA Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah lama diperjuangkan di forum internasional. Diawali dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960 tentang Perairan Indonesia; Prof Mochtar Kusumaatmadja dengan tim negosiasi Indonesia lainnya menawarkan konsep "Negara Kepulauan" untuk dapat diterima di Konferensi Hukum Laut Perseriktan Bangsa-Bangsa (PBB)III,sehingga dalam "The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982" dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan.
BENDERA MALAYSIA
MALAYSIA
Konsepsi itu menyatukan wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas,karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselinesnya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost points of the outermost islands and drying reefs). Hal itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita.
Namun, dalam UU No 6/1996 itu tidak ada peta garis batas Indonesia,yang ada hanya peta ilustratif. Padahal, menurut UNCLOS 1982,Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat koordinat garis dasar sebagai titik,ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia.
PETA BATAS LOKASI
PETA BATAS/LOKASI
Lalu timbul sengketa Sipadan-Ligitan, dan kita tergopoh-gopoh membuat Peraturan Pemerintah No 38/2002, yang memuat titik-titik dasar termasuk di Pulau Sipadan-Ligitan. Sayang, PP itu harus direvisi karena ICJ memutuskan kedua pulau itu milik Malaysia.Kini timbul masalah perebutan daerah cadangan minyak Ambalat dan Ambalat Timur (demikian Indonesia menyebutnya) atau blok minyak XYZ (oleh Malaysia). Kedua Negara telah memberi konsesi eksplorasi blok itu kepada perusahaan berbeda. Indonesia telah memberi izin kepada ENI (Italia) dan Unocal (AS), sementara Shell mengantongi izin dari Malaysia. Maka terjadi dua klaim saling tumpang-tindih antara kedua negara bertetangga (overlapping claim areas).Klaim tumpang-tindih dari dua atau lebih negara pada dasarnya bukan hal istimewa. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang berdampingan. Hukum laut memberi hak kepada negara pantai untuk memiliki laut wilayah sejauh 12 mil laut, dan zona ekonomi eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis pangkalnya. Bahkan, untuk landas kontinen jarak bisa mencapai 350 mil laut, jika dapat dibuktikan adanya natural prolongation(kepanjangan ilmiah) dari daratan negara pantai itu. Hal ini menyebabkan banyak negara berlomba mengklaim teritori lautnya sesuai dengan hak yang diberikan hukum laut.KONDISI yang kini terjadi di Ambalat tidak dapat dilepaskan dari perebutan Sipadan-Ligitan. Judge (hakim) Shigeru Oda pada Mahkamah Internasional jeli melihat potensi konflik itu dengan menunjukkan, meski keberadaan Pulau Sipadan-Ligitan telah diketahui sejak abad ke??-19, namun konflik mengenai kepemilikannya baru mencuat tahun 1960-an,saat kedua negara berselisih paham mengenai batas landas kontinen keduanya.Meski Oda termasuk hakim yang memberi putusan kepemilikan Sipadan-Ligitan kepada Malaysia karena alasan effectivites, namun ia membuat pernyataan, "?the present judgment determining sovereignty over the islands does not necessarily have a direct bearing on the delimitation of the continental shelf, which has been a subject of dispute between the two states since the late 1960s".Oda menekankan, saat ini "penetapan batas landas kontinen" lebih ditekankan pada prinsip yang disebut dengan an equitable solution.
Maka, tindakan Malaysia mengirim kapal perang atau pesawat tempur ke Indonesia, apalagi dengan bonus "menyiksa warga kita yang sedang membangun suar di Karang Unarang" tidak dapat dibenarkan. Karang Unarang adalah suatu low tide elevation (elevasi pasang surut), yang dapat dijadikan titik garis pangkal satu negara. Sebagai negara kepulauan Indonesia berhak mencari titik-titik terluar dari pulau atau karang terluar untuk dipakai sebagai garis pangkal. Itu berarti Karang Unarang yang letaknya di tenggara Pulau Sebatik (bagian Indonesia) berhak dijadikan baselines baru Indonesia, sebagai pengganti garis pangkal di pulau Sipadan dan Ligitan.
SITUASI MEMANAS
SITUASI MEMANAS
Malaysia adalah negara pantai biasa, yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus (straight baselines) jika syarat-syarat tertentu dipenuhi. Karena itu, Malaysia seharusnya tidak menyentuh daerah itu karena ia hanya bisa menarik baselines Negara Bagian Sabah dari daratan utamanya, bukan dari Pulau Sipadan atau Ligitan.
Jika Malaysia berargumentasi, "tiap pulau berhak mempunyai laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinennya sendiri", maka Pasal 121 UNCLOS 1982 dapat membenarkannya. Namun, rezim penetapan batas landas kontinen mempunyai specific rule yang membuktikan keberadaan pulau-pulau yang relatively small, socially and economically insignificant tidak akan dianggap sebagai special circumstances dalam penentuan garis batas landas kontinen. Beberapa yurisprudensi hukum internasional telah membuktikan dipakainya doktrin itu.Dengan demikian, yang perlu ditentukan kini adalah garis pangkal masing-masing negara.
Jika situasi di Ambalat memanas dengan telah berhadap-hadapannya kapal perang dan pesawat tempur kedua negara,Malaysia mengatakan semua bisa dirundingkan, maka itu hanya akan mencapai deadlock jika Malaysia bersikukuh untuk dipakainya peta wilayahnya tahun 1979. Peta itu hanya tindakan unilateral yang tidak mengikat Indonesia.Indonesia telah menolak langsung peta itu sejak diterbitkan, karena penarikan baselines yang tidak jelas landasan hukumnya.
Ambalat jelas di bagian selatan Laut Sulawesi dan masuk wilayah Indonesia. Jika kedua negara tetap dalam posisi berlawanan, maka untuk mencegah konflik bersenjata, jalan keluar yang harus ditempuh
adalah duduk dalam perundingan garis batas landas kontinen kedua negara, yang sekaligus berarti menyelesaikan kasus Ambalat dengan menerapkan prinsip equitable solution, seperti digariskan UNCLOS 1982.
SIAP PERANG
SIAP PERANG
Indonesia telah berkali-kali mengajak Malaysia duduk di meja perundingan mengenai batas landas kontinen, namun tak ada respons positif. Kini tingkat kesabaran rakyat Indonesia sedang diuji, kasus
tenaga kerja Indonesia (TKI), kasus illegal logging, dan konflik Ambalat membawa pandangan negatif tentang Malaysia. Keberadaan TNI Angkatan Laut dapat dibenarkan karena tiap negara harus menjaga kedaulatan negaranya di daerah yang diyakini sebagai wilayahnya. Jika tidak bisa bertindak in good faith, sebagaimana dilakukan negara-negara beradab, maka Malaysia menyisakan ruang bagi Indonesia agar mempertahankan prinsip "bertetangga baik" seperti selama ini dianut Indonesia secara "berlebihan".

Sumber: Kamil Ariadno Pengajar Hukum Laut Fakultas Hukum UI; Ketua Lembaga Pengkajian Hukum Internasional (LPHI) FHUI